Laman

Rabu, 07 Desember 2011

IF Clause (IF Conditional)

IF Clause atau yang juga dikenal sebagai IF Conditional digunakan sebagai bentuk pengandaian, Jika kita melihat ke dalam bahasa Indonesia, barangkali yang lebih tepat penyetaraannya adalah dengan “Jika …, maka ….”

IF Clause sendiri memiliki 3 bentuk dasar atau tipe. Artikel saya kali ini akan mencoba mengulas tentang ketiga bentuk IF Clause.

Tipe 1
IF Clause tipe ini digunakan untuk pengandaian yang masih mungkin terjadi. Adapun pola dasarnya sebagai berikut.

IF Subject + Verb 1, Subject + will + Verb 1
IF Subject + to be 1 (is/am/are) + Complement, Subject + will + be + Complement

Atau

Subject + will + Verb 1 IF Subject + Verb 1
Subject + will + be + Complement IF Subject + to be 1 (is/am/are) + complement

Contoh:
·         If Rahmat study hard, he will pass the exam tomorrow. (Posisi IF di awal)
Rahmat will pass the exam tomorrow if he study hard. (Posisi IF di tengah)
Makna: Jika Rahmad belajar dengan keras, maka dia akan lulus ujian besok. Ini berarti Rahmat masih memiliki kesempatan untuk lulus ujian dengan syarat yaitu belajar dengan keras.


Tipe 2
IF Clause tipe ini digunakan untuk pengandaian yang tidak mungkin terjadi. Adapun pola dasarnya sebagai berikut.

IF Subject + Verb 2, Subject + would + Verb 1
IF Subject + to be 2 (was/were) + Complement, Subject + would + be + Complement

Atau

Subject + would + Verb 1 IF Subject + Verb 2
Subject + would + be + Complement IF Subject + to be 2 (was/were) + complement

Contoh:
·         If Rahmat had wings, he would fly to the sky. (Posisi IF di awal)
Rahmat would fly to the sky if he had wings. (Posisi IF di tengah)
Makna: Jika Rahmad mempunyai sayap, maka dia akan terbang ke langit. Pada kenyataannya, Rahmat tidak memiliki sayap sehingga dia tidak bisa terbang ke langit.

·         If I were you, I would not say that to her. (Posisi IF di awal)
I would not say that to her if I were you. (Posisi IF di tengah)
Makna: Jika saya menjadi Anda, maka saya tidak akan mengatakan hal tersebut padanya. Pada kenyataannya, saya bukanlah Anda.


Tipe 3
IF Clause tipe ini digunakan untuk pengandaian yang berupa penyesalan. Adapun pola dasarnya sebagai berikut.

IF Subject + had + Verb 3, Subject + would + have + Verb 3
IF Subject + had + been + Complement, Subject + would + have + been + Complement

Atau

Subject + would + have + Verb 3 IF Subject + had + Verb 3
Subject + would + have + been + Complement IF Subject + had + been + complement

Contoh:
·         If Rahmat had chosen to play football instead of going to Puncak with his friends on their motobikes, he would not have got that terrible accident. (Posisi IF di awal)

Rahmat would not have got that terrible accident if he had chosen to play football instead of going to Puncak with his friends on their motobikes. (Posisi IF di tengah)

Makna: Jika Rahmad memilih bermain sepak bola daripada pergi ke Puncak bersama teman-temannya dengan sepeda motor, maka dia tidak akan mengalami kecelakaan yang mengerikan tersebut. Pada kenyataannya, Rahmat pergi ke Puncak dan mengalami kecelakaan.


Catatan:
  1. Perlu anda pahami bahwa posisi IF Clause di awal dipisahkan dari Main Clause-nya dengan menggunakan tanda koma (,).
  2. Kombinasi antara IF Clause dan Main Clause tidak harus berupa Complement dengan Complement atau Verb dengan Modal + Verb, tetapi bisa saja kombinasi keduanya; antara Verb dan Complement atau Complement dan Modal + Verb.

Selasa, 06 Desember 2011

Ketika Patah Hati (Tentang Hidup - Jilid 2)

“Mereka aja yang belum beruntung dapetin kita”
Film Jomblo

Hampir semua orang pernah merasakan patah hati dan dikecewakan. Beberapa pengalaman teman-teman saya menunjukkan bagaimana mereka ditinggalkan oleh orang yang mereka sangat cintai, mulai dari ditolak berkali-kali, dikhianati (selingkuh), tidak disetujui oleh orang tua, hingga adapula yang ditinggal untuk selamanya karena sang kekasih menghadap sang pencipta. Itu semua yang namanya cinta.
Kata orang, no pain no gain. Sederhananya istiah tersebut, tetapi memiliki makna yang dalam. Setiap kesukaran yang kita temui dalam percintaan akan menentukan seberapa besar dan tulusnya cinta yang kita miliki untuk orang tersebut. Melalui artikel ini saya ingin membagi bahan perenungan untuk para pembaca yang sedang dilanda patah hati.

Cinta tak harus memiliki.
Tidak semua yang kita cintai harus kita miliki. Seperti pada artikel saya sebelumnya, semua hal yang kita dapatkan berdasarkan atas usaha dan doa kita. Andaipun kita telah berusaha dengan maksimal dan berdoa se-khusyuk-nya tapi tidak jua membuahkan hasil yang diharapkan, itu semata karena dia yang kita cintai pada saat ini (INGAT! pada saat ini) memang bukanlah yang terbaik untuk kita.

Memberi tanpa Harus Menerima
Cinta yang tulus itu selalu memberi tanpa mengharapkan balasan apa-apa. Ada diantara kita yang terlalu sibuk menghitung berapa biaya yang telah kita keluarkan untuk sang kekasih atau menghitung jasa yang telah kita berikan pada mereka yang kita cintai. Dalam beberapa kasus yang sempat disiarkan di sebuah acara televisi, sang gadis merasa dirugikan karena selama berpacaran dia-lah yang mengeluarkan biaya paling banyak ketimbang sang pacar. Adapula, sang pemuda yang merasa “dirugikan” oleh sang pacar secara finansial.
Saya tidak sedang menghakimi apakah mereka benar atau salah. Namun, coba tinjau lagi apa yang telah kita lakukan dan apa yang telah kita berikan. Jika kita memang tulus, mengapa kita tetap sibuk menghitung apa yang telah kita berikan atau lakukan. Penyesalan dan benci yang timbul itu karena dari awal kita memang mengharapkan imbalan darinya.
Saat saya masih kuliah, saya sering memperoleh pengalaman berharga dari beberapa teman. Di tengah hujan lebat, saya pernah melihat seorang teman saya pernah menunggu pacarnya yang sedang menghadap dosen setelah ujian skripsi dengan sabar di depan kantor jurusan. Delapan bulan kemudian, dia diputuskan oleh sang pacar tanpa alasan yang jelas. Saya pun memberanikan diri menanyakan tentang apa yang dia rasakan, dia menjawab “Sakit, tapi saya tidak merasa menyesal atas pegorbanan saya”.

Cinta itu Buta
Sebuta apakah cinta tergantung dari pandangan kita tentang kelebihan dan kekurangan sang kekasih. Kagumi kelebihannya, tapi perbaiki kekurangannya. Melihat salah satu saja hanya akan memberikan kelalaian dan kekecewaan. Selain itu, jangan mengharapkan kesempurnaan jika kita sendiri juga tidak sempurna. Beberapa alasan putus cinta hanya karena kita memandang sang kekasih tidak cukup sempurna untuk kita. Inilah sala satu alasan putus cinta yang paling egois dalam sejarah hidup manusia. Cintanya hanya sibuk memandang kekurangan orang lain, buta kekurangan diri sendiri. Jika Anda pernah diputus oleh sang kekasih karena ini, bersyukurlah karena Anda lah yang sebenarnya menemukan kekurangan kekasih Anda sebelum semuanya terlambat.

Berharap Tanpa Waktu
Untuk yang satu ini saya punya cerita menarik. Saya mengenal seseorang yang begitu gigihnya menunggu dia yang dicintai-nya dengan sepenuh hati selama lebih kurang 19 tahun.

Anggap saja nama beliau Adeline. Adeline berpacaran semenjak kuliah selama 2 tahun. Namun malangnya, sang kekasih malah menikahi orang lain. Adeline pun terpuruk dan sering kali menangis, dan ini berlangsung selama 2 tahun semenjak mereka putus. Kesibukan kerja-lah yang membuatnya mampu untuk melupakan sang pujaan hati sementara waktu. Ini berlangsung selama 19 tahun setelah Adeline ditinggal kawin oleh sang kekasih. Hingga pada suatu waktu, tepat 2 tahun yang lalu, buah penantiannya terjawab. Ternyata tanpa sepengetahuan Adeline (karena sejak putus, Adeline tidak lagi berkomunikasi dengan mantannya), sang mantan kekasih bercerai dengan istrinya. Akhirnya Adeline dilamar oleh mantan kekasihnya dan sekarang hidup berbahagia.

Seperti mimpi rasanya ketika saya mendengar cerita tersebut dari yang bersangkutan. Begitu tabah dan kuatnya beliau menanti. Saya sendiri tidak akan sanggup untuk melakukannya. Adeline mengatakan bahwa dia yakin kepada Allah kalau suatu saat setiap doa dan keyakinan akan dinilai oleh-Nya. Inilah salah satu kuncinya, KEYAKINAN. Bagi para pembaca yang (maaf) kurang memiliki keyakinan dalam masalah seperti ini, saya sangat menganjurkan untuk tidak melakukan ini.

Pilihlah Aku
Tak ada satu orang pun yang suka jika dibandingkan dengan mantan dari kekasihnya. Padahal kalau kita merenungkan sejenak, dari situlah kita bisa memperoleh nilai lebih terhadap penilaian sang kekasih. Memberikan yang terbaik dengan setulusnya adalah salah satu yang bisa kita lakukan untuk memenangkan hatinya. Dia akan melihat kita memenuhi kriterianya sebagai kekasih yang “sempurna”. Banyak diantara kita yang gagal melihat ini sebagai peluang hanya karena keegoisan diri.


Demikianlah perspektif saya tentang patah hati dan cinta, semoga dapat menjadi bahan perenungan untuk kita semua, termasuk saya sendiri. Sekali lagi, saya mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak yang berkenan membaca artikel saya ini.

Narrative Text

Narrative text merupakan salah satu genre yang tertua karena telah digunakan selama berabad-abad dalam bentuk cerita rakyat (folktale), dongeng (fairytale), dan legenda (legend). Dalam perkembangannya, kita mengenal bentuk lain dari narrative text seperti cerita pendek, dan novel.
Sebenarnya recount text dan spoof text adalah bentuk lain dari narrative karena memiliki salah satu kesamaan generic structure pada bagian awalnya yaitu orientation yang berfungsi memperkenalkan tokoh yang terlibat dalam cerita, latar belakang dan sebagainya. Namun, menurut Genre Based Approach, recount text dan spoof text diklasifikasikan sebagai jenis genre yang berbeda.
Dalam artikel ini, saya akan mengulas tentang narrative text terutama yang berkaitan dengan Pengajaran dan Pembelajaran Bahasa Inggris pada sekolah menengah. Barangkali Anda akan mengalami kesulitan dalam memahami penjelasan berikut karena pada dasarnya sumber dari penjelasan berikut berasal dari buku berbahasa Inggris. Namun, saya akan mencoba mengkombinasikan penjelasannya dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

Fungsi Sosial (Social Function)
Menurut Derewianka (1991), tujuan dari narrative text adalah untuk menghibur, untuk mengajarkan atau memberitahuan, menambahkan refleksi si penulis akan sebuah pengalaman, serta memperluas imajinasi pembaca.
Gerot dan Wignell (1994) menambahkan bahwa fungsi sosial narrative text adalah berkaitan dengan menceritakan pengalaman yang sebenarnya maupun yang dialami oleh orang lain dalam cara yang berbeda dan narrative text melibatkan kejadian yang problematis (problematic event) yang mengarah kepada sebuah krisis atau sebuah titik balik yang pada akhirnya menemui penyelesaian (resolution).

Struktur Pembentuk (Generic Structure) dan Language Features
Berikut ini generic structure dan language feactures dari narrative text berdasarkan dua sumber, yaitu Derewianka , dan Gerot dan Wignell.
Menurut Derewianka (1991), ada beberapa karakteristik narrative text:

1.      Purpose (Social Function)
The purpose of narratives is to entertain, to teach or inform, to embody the writer’s reflections on experience, and to nourish and extend the reader’s imagination.

2.      Text Organization
-     Orientation      : set the scene and introduces the participants
-     Complication   : problem arise
-     Resolution        : the problem is resolved for better or worst

3.      Language Features
-     Specific, often individual participants with defined identities. Major participants are human, or sometimes animals with human characteristics
-     Mainly action verbs (material processes), but also many verbs which refer to what human participants said, or felt, or thought (verbal and mental processes).
-     Normally past tense
-     Many linking words to do in time.
-     Dialogue often included, during which the tense may change to the present or future.
-     Descriptive language chosen to enhance and develop the story by creating images in the reader’s mind.
-     Can be written in the first person (I, we) or third person (he, she, they)

Gerot and Wignell (1994) juga menambahkan beberapa karakteristik narrative text yang dijelaskan sebagai berikut:

1.      Social Function
To amuse, entertain and to deal with actual or vicarious experience in different ways, narratives deal with problematic event which lead to a crisis or turning point of some kinds which in turn finds a resolution.

2.      Generic Structure
-     Orientation                 : set the scene and introduces the participants
-     Evaluation                  : a stepping back to evaluate the plight
-     Complication              : a crisis arises
-     Resolution                   : the crisis is resolved, for better or for worst
-     Reorientation             : optional

3.      Significant Lexicogrammatical Features
-     Focus on specific and usually individualized participant
-     Use of material process, (and in this text, behavioral and verbal process)
-     Use of Relational Process and Mental Process
-     Use of temporal conjunction, and temporal circumstances
-     Use of Past Tense

Secara mendasar, karakteristik yang digambarkan baik oleh Derewianka maupun Gerot dan Wignell memiliki kesamaan, terutama pada fungsi sosial dan fitur bahasa yang digunakan. Hanya saja perbedaan yang timbul diantara para ahli tersebut terletak pada generic strcture dimana Gerot dan Wignell menambahkan evaluation dan re-orientation pada generic structure mereka.
Namun demikian, sebenarnya Derewianka, dan Gerot dan Wignell menjelaskan purpose atau social function, generic structure dan language features dari narrative text yang telah ada di dalam masyarakat kita.

Genres, their stages and characteristic lexicogrammatical features were not invented by systemic-linguists, but they have already out there in use in school and non-school environments. These genres arose in social interaction to fulfill humans’ social purposes. The staging and characteristic lexicogrammatical features of genres are probable, representing tendencies.
Gerot and Wignell (1994)


Contoh teks:

One Inch Boy
Long time ago, in Japan, there was an old couple that wished for a child. They wished for a child of any kind, even if he was only an inch tall, and their wish was granted. They got a child and sure enough he grew no taller than one inch. They named him Issun-Boshi which meant One Inch Boy. (Orientation)

 
One day Issun-Boshi decided he wanted to see the world. His parents wanted Issun-Boshi to have a fun life so they gave him a bowl, chopsticks and a needle he could use as a sword and waved goodbye. When Issun-Boshi came to the city, he was taken into care of a nobleman and was a servant for the princess. Issun-Boshi and the princes became good friends. One day on their way back from a nearby temple, they were stopped by a large green demon called an oni. The princess thought she was doomed for surely she could not be saved by a one inch boy. But the one inch boy acted quickly. He climbed the oni quickly and poked it in the tongue with his sword. Issun-Boshi jumped from the demon’s mouth just before it turned and ran. (Complication)

 
 The princess was saved! Then she made a wish. “I wish for Issun-Boshi to grow tall.” The princess squeezed her eyes shut and then opened them again. But the boy was still one inch tall. Then slowly, inch by inch, Issun- Bosh grew taller until he was the size of a full grown man. Issun-Boshi and the princess were married and they lived together happily for the rest of their lives,each over five feet tall. (Resolution)
Taken from: http://www.legendsoftheeast.com

Referensi:
Derewianka, B. 1991. Exploring How Texts Work. Sydney: Primary English Teaching Association (PETA).
Gerot, Linda & Peter Wignell. 1994. Making Sense of Functional Grammar. Sydney: Antepodean Educational Enterprise.